Ads.

Jumat, 19 September 2025

Detektif Rio: Sidang Darah di Pengadilan Surabaya



Suasana ruang Pengadilan Negeri Surabaya penuh sesak. Wartawan berdesakan, kamera televisi menyala, dan masyarakat umum ingin menyaksikan jalannya persidangan. Kasus mutilasi Tiara Angelina Saraswati oleh Alvi Maulana menjadi sorotan nasional.

Di kursi terdakwa, Alvi duduk dengan wajah pucat. Tangannya diborgol, matanya sayu namun sesekali menatap kosong ke depan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka sidang dengan lantang:

“Yang Mulia, perbuatan terdakwa tidak hanya menghilangkan nyawa korban, tetapi juga melakukan mutilasi lebih dari seratus potongan tubuh. Ini bukan sekadar penghilangan jejak, melainkan aksi keji yang melukai kemanusiaan. Kami menuntut hukuman mati untuk terdakwa.”


Kesaksian Detektif Rio

Nama Detektif Rio dipanggil sebagai saksi ahli investigasi forensik. Ia melangkah ke depan dengan tenang. Di ruang sidang, semua mata tertuju padanya.

Hakim bertanya, “Saudara saksi, apa analisis Anda mengenai motif mutilasi yang dilakukan terdakwa?”

Rio membuka berkas dan berbicara tegas:
“Berdasarkan penyelidikan di TKP dan hasil psikologis, saya menyimpulkan: mutilasi dilakukan bukan hanya untuk menghilangkan jejak. Ada pelampiasan emosi dan obsesi. Terdakwa merasa gagal sebagai pria, terbebani tuntutan ekonomi, hingga timbul frustasi akut. Mutilasi adalah upaya simbolis untuk ‘mengendalikan’ korban setelah gagal mengendalikan hubungan.”

Ruang sidang hening. Beberapa orang bergidik.


Pembelaan Terdakwa

Kuasa hukum Alvi mencoba meringankan.
“Terdakwa tidak merencanakan pembunuhan. Ia hanya gelap mata. Mohon dipertimbangkan faktor emosi dan tekanan ekonomi.”

Namun Jaksa membantah:
“Justru mutilasi menunjukkan adanya perencanaan. Terdakwa membeli pisau dan gergaji sebelumnya. Itu bukan spontanitas, melainkan kalkulasi dingin.”

Alvi tiba-tiba berdiri, menangis histeris.
“Aku mencintai Tiara! Aku tak pernah berniat membunuhnya. Tapi aku lelah... aku kalah oleh hidup!”

Hakim mengetuk palu, menenangkan ruang sidang yang mulai ricuh.


Pertimbangan Hakim

Sidang berlangsung berbulan-bulan. Saksi ahli forensik, psikolog, hingga keluarga korban memberikan kesaksian. Ayah Tiara, dengan suara bergetar, berkata:
“Tiara anak tunggal saya, cita-citanya sederhana: ingin buka usaha kecil. Tapi ia pulang hanya tinggal potongan tubuh. Saya serahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan dan hukum negara.”

Detektif Rio yang duduk di kursi saksi merasakan sesak di dada. Ia sudah terbiasa melihat darah, tetapi tatapan keluarga korban selalu membuatnya lemah.


Vonis

Pada hari putusan, suasana ruang sidang mencekam. Hakim membacakan putusan panjang, lalu menutup dengan kata tegas:

“Menimbang perbuatan terdakwa yang sangat keji, sadis, dan menimbulkan keresahan masyarakat, majelis hakim menjatuhkan vonis: hukuman penjara seumur hidup.”

Terdakwa langsung terkulai, sementara keluarga korban menangis. Jaksa sempat kecewa karena tuntutan mati tak dikabulkan, tetapi masyarakat menganggap vonis ini sudah setimpal.


Renungan Detektif Rio

Keluar dari pengadilan, wartawan mengejar Rio. Salah satu bertanya, “Apakah mutilasi akan terus terjadi di Indonesia?”

Rio menjawab pelan namun tajam:
“Selama manusia masih menyimpan dendam, sakit hati, dan frustasi tanpa jalan keluar sehat, kasus serupa bisa berulang. Tugas kita bukan hanya menghukum pelaku, tapi juga mencegah tragedi lahir dari luka batin yang tak pernah diobati.”

Malam itu, Rio berjalan sendirian di trotoar Surabaya. Sirene polisi sayup-sayup terdengar di kejauhan. Ia tahu pekerjaannya tidak akan pernah selesai. Setiap kasus bukan sekadar soal pelaku dan korban, melainkan cermin kelam dari rapuhnya jiwa manusia.


By: @Septadhana


Tidak ada komentar: