Suasana ruang Pengadilan Negeri Surabaya penuh sesak. Wartawan berdesakan, kamera televisi menyala, dan masyarakat umum ingin menyaksikan jalannya persidangan. Kasus mutilasi Tiara Angelina Saraswati oleh Alvi Maulana menjadi sorotan nasional.
Di kursi terdakwa, Alvi duduk dengan wajah pucat. Tangannya diborgol, matanya sayu namun sesekali menatap kosong ke depan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka sidang dengan lantang:
“Yang Mulia, perbuatan terdakwa tidak hanya menghilangkan nyawa korban, tetapi juga melakukan mutilasi lebih dari seratus potongan tubuh. Ini bukan sekadar penghilangan jejak, melainkan aksi keji yang melukai kemanusiaan. Kami menuntut hukuman mati untuk terdakwa.”
Kesaksian Detektif Rio
Nama Detektif Rio dipanggil sebagai saksi ahli investigasi forensik. Ia melangkah ke depan dengan tenang. Di ruang sidang, semua mata tertuju padanya.
Hakim bertanya, “Saudara saksi, apa analisis Anda mengenai motif mutilasi yang dilakukan terdakwa?”
Ruang sidang hening. Beberapa orang bergidik.
Pembelaan Terdakwa
Hakim mengetuk palu, menenangkan ruang sidang yang mulai ricuh.
Pertimbangan Hakim
Detektif Rio yang duduk di kursi saksi merasakan sesak di dada. Ia sudah terbiasa melihat darah, tetapi tatapan keluarga korban selalu membuatnya lemah.
Vonis
Pada hari putusan, suasana ruang sidang mencekam. Hakim membacakan putusan panjang, lalu menutup dengan kata tegas:
“Menimbang perbuatan terdakwa yang sangat keji, sadis, dan menimbulkan keresahan masyarakat, majelis hakim menjatuhkan vonis: hukuman penjara seumur hidup.”
Terdakwa langsung terkulai, sementara keluarga korban menangis. Jaksa sempat kecewa karena tuntutan mati tak dikabulkan, tetapi masyarakat menganggap vonis ini sudah setimpal.
Renungan Detektif Rio
Keluar dari pengadilan, wartawan mengejar Rio. Salah satu bertanya, “Apakah mutilasi akan terus terjadi di Indonesia?”
Malam itu, Rio berjalan sendirian di trotoar Surabaya. Sirene polisi sayup-sayup terdengar di kejauhan. Ia tahu pekerjaannya tidak akan pernah selesai. Setiap kasus bukan sekadar soal pelaku dan korban, melainkan cermin kelam dari rapuhnya jiwa manusia.
By: @Septadhana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar